HAK ASASI MANUSIA DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Kamis, 15 November 2012
0
komentar
HAK ASASI
MANUSIA DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Kajian Konsep
dan Historisitas
Elviandri
(Mahasiswa
Pascasarjana Ilmu Hukum-UMS)
Pendahuluan.
Masalah HAM menjadi salah satu pusat perhatian manusia sejagat, sejak
pertengahan abad kedua puluh. Hingga kini, ia tetap menjadi isu aktual dalam
berbagai peristiwa sosial, politik dan ekonomi, di tingkat nasional maupun
internasional. Kaum muslim di seluruh dunia, sebagai bagian integral dari
masyarakat internasional, mempunyai perhatian sungguh-sungguh terhadap isu global
ini. Sebagai kelompok masyarakat yang memiliki warisan tradisi peradaban yang
sangat kaya, kaum muslim tidak pernah diam memberikan respon terhadap setiap
isu penting yang berkembang dalam setiap zaman. Islam, seperti kita ketahui
bersama, adalah ajaran yang dinamis. Ia selalu mendorong umatnya menemukan
hal-hal baru demi kemajuan umat manusia. Sepanjang keberadaannya, Islam telah
membangun peradaban besar yang sudah memberikan sumbangan yang sangat
mementukan dalam sejarah peradaban umat manusia hingga ke zaman kita sekarang
ini. Demikian pula sumbangannya dalam rangka mengakui dan menghormati harkat
dan martabat manusia. Tidak berlebihan kiranya, jika kita mengatakan Islam
adalah agama kemanusiaan (religion of humanity).
Ketika kita melangkah untuk memahami Islam
dalam perspektif HAM, kita selalu akan dihadapkan pada pertanyaan akademis:
apakah Islam memang memberikan
pengajaran di bidang ini? Secara umum, kita tentu dapat menjawab bahwa Islam
adalah agama komprehensif, karena al-Qur'an yang merupakan himpunan wahyu Ilahi
yang disampaikan kepada Nabi Muhammad saw adalah kitab yang berfungsi
"memberikan petujuk dan penjelas atas petunjuk itu (al-bayan) serta
pembeda" antara kebenaran dengan kesalahan (al-furqan).
Ajaran-ajaran Islam yang disampaikan oleh Nabi
Muhammad SAW mencakup keseluruhan aspek kehidupan manusiawi, walaupun untuk
bidang-bidang tertentu ia hanya memberikan rumusan-rumusan umum yang senantiasa
dapat dipikirkan, direnungkan dan diformulasikan untuk menghadapi tantangan
perubahan zaman. Selain itu, corak rasionalitas ajaran Islam yang senantiasa
mendorong umatnya untuk berpikir kreatif dengan berlandaskan kepada sumber
ajaran Islam, yakni al-Qur'an dan al-Hadits, akan senantiasa mendorong umatnya
menemukan gagasan-gagasan dan konsepsi baru untuk menjawab tantangan zaman.
Al-Qur'an sendiri mengatakan "siapa berusaha dengan sungguh-sungguh di
jalan Kami, maka Kami akan menunjukinya jalan-jalan Kami".
Persoalan HAM berkait erat dengan konsepsi
filosofis dengan suatu aliran pemikiran tentang manusia.[1]
Perbedaan pandangan metafisik terhadap manusia inilah yang melahirkan perbedaan
konsepsi manusia tentang kehidupan pribadi dan sosial manusia. Meskipun perbedaan metafisik ini telah dimulai
sejak ribuan tahun lalu, namun masalah itu belum sepenuhnya dapat terjawab
dengan memuaskan. Manusia tetap saja menjadi misteri besar dari semua
eksistensi. Hingga sekarang ironisnya, manusia sebenarnya belum mempunyai
pemahaman utuh dan konfrehensif tentang dirinya. Ajaran-ajaran Islam juga memberikan
dasar-dasar pemahaman tentang manusia dan hak-hak asasinya, yang sampai
sekarang menjadi sumber yang tidak
pernah kering dalam membahas hak-hak manusia baik dari sudut pandang filsafat
ataupun ilmu pengetahuan.
Sebagai sebuah kajian
empirik untuk tujuan deskriptif atau evaluatif sekalipun, diskursus tentang Islam dan Hak Asasi Manusia menemukan
relevansinya. Walau demikian keterbatasan akses terhadap realitas empirik,
makalah ini membatasi diri pada diskursus Islam
dan Hak Asasi Manusia di mana Islam dimaknai sebagai ajaran. Dengan
demikian, analisis dalam diskursus ini lebih bersifat filosofik, deduktif, dan
komparatif.
Hak Asasi Manusia: Makna dan Historisitas.
Dari membandingkan beberapa definisi tentang
hak, ia dapat dimaknai sebagai sesuatu nilai yang diinginkan seseorang untuk
melindungi dirinya, agar ia dapat memelihara dan meningkatkan kehidupannya dan
mengembangkan kepribadiannya.[2]
Hak itu mengimplisitkan kewajiban, karena pada umumnya seseorang berbicara
tentang hak manakala ia mempunyai tuntutan yang harus dipenuhi pihak lain.
Dalam pergaulan masyarakat, adalah mustahil membicarakan tanpa secara langsung
mengaitkan hak itu dengan kewajiban orang atau pihak lain.
Dari sejumlah hak-hak manusia itu ada yang
dinilai asasi. Dalam kata asasi terkandung makna bahwa subjek yang memiliki hak
semacam itu adalah manusia secara keseluruhan, tanpa membedakan status, suku,
adat istiadat, agama, ras, atau warna kulit, bahkan tanpa mengenal kenisbian
relevansi menurut waktu dan tempat. Dengan demikian, hak asasi manusia haruslah
sedemikian penting, mendasar, diakui oleh semua peradaban, dan mutlak
pemenuhannya.
Kesadaran akan hak asasi dalam peradaban Barat
timbul pada abad ke-17 dan ke 18 Masehi sebagai reaksi terhadap keabsolutan
raja-raja kaum feodal terhadap rakyat yang mereka perintah atau manusia yang
mereka pekerjakan. Sebagaimana dapat diketahui dalam sejarah, masayarakat
manusia pada zaman dahulu terdiri dari dua lapisan besar : lapisan atas,
minoritas, yang mempunyai hak-hak; dan lapisan bawah, yang tidak mempunyai hak-hak tetapi hanya mempunyai
kewajiban-kewajiban, sehingga mereka diperlakukan sewenang-sewenang oleh
lapisan atas. Kesadaran itu memicu upaya-upaya perumusan dan pendeklerasian
HAM, menurut catatan sejarah HAM berkembang melalalui beberapa tahap. Hal ini
terutama dapat dilihat dalam sejarah ketatanegaraan di Inggris dan Prancis.
Yaitu ditandainya dengan keberhasilan rakyat Inggris memperoleh hak tertentu
dari raja dan pemerintahan Inggris yang dituangkan dalam berbagai piagam
seperti: Petition Of Rights tahun 1628, Habeas Corpus Act tahun 1679 dan Bill Of Rights tahun
1689 serta dikeluarkannya Declaration des D du Citoyen tahun 1789 di Prancis.[3]
Selain dua negara di atas, Bill Of Rights juga terjadi di negara bagian Virginia tahun 1776,
deklarasi kemerdekaan 13 Negara Bagian Amerika Serikat tahun 1789.
Setelah berakhirnya perang dunia I dan II
dibentuk PBB dan dikeluarkan pernyataan HAM internasional : Universal
Declaration of Human Rights pada tanggal 10 Desember 1948, dan disusul
dengan Covenant on Civil and Political Rights tahun 1966 dan Covenant
on Economic, Social and Cultur Rights tahun
1966 dan Optional Protocol to he Covenant on Civil and Political Rights tahun
1966. Kempat dokumen HAM internasional sering disebut sebagai The
International Bill Of Human Rights.
Dokumen-dokumen tersebut merupakan instrumen
normatif HAM internasional yang harus dihormati dan dipatuhi oleh setiap negara
anggota PBB. Bahkan dalam Covenant on
Civil and Political Rights dimuat beberapa HAM yang penerapannya tidak
dapat diperkecualikan meskipun dalam keadaan sabagai luar biasa. Apapun
kedaaannya hak-hak yang dianggap sebagai intisari dari HAM harus tetap
dihormati.
Adanya pengakuan dan perlindungan kedudukan
pribadi dalam instrumen HAM tersebut menunjukkan adanya kemajuan dalam nilai
dan norma yang mendasari hubungan antar negara. HAM yang dulu lebih merupakan
urusan dalam negri masing-masing negara telah bergeser menjadi nilai dan
hubungan internasional, yaitu dibuktikan dengan adanya persetujuan semua
negara, setidak-tidaknya negara-negara anggota
PBB terhadap deklarasi, konvensi dan konvenan HAM internasional.
Deklarasi PBB tersebut dapat diklasifakasikan
dalam tiga katagori:
- Hak sipil dan hak ploitik, hak persamaan
/kemerdekaan sejak lahir (pasal 1), hak untuk hidup (pasal 3), hak untuk
memperoleh keadilan didepan hukum (pasal 6-8), hak untuk memperoleh
perlakuan yang manusiawi (tidak sewenang-wenang) dalam penyelesain tertib
sosial (pasal 5, dan 9-11), hak untuk bebas bergerak, mencari suaka ke
negara lain, dan menetapkan suatu kewarganegaraan (pasal 13-15), hak untuk
menikah dan membangun keluarga (pasal 16), hak untuk bebas berpikir,
berkesadaran dan beragama (pasal 18-19), dan hak untuk berkumpul dan
berserikat (pasal 20-21).
- Hak eknomi dan sosial (pasal 22- 28)
antara lain; hak untuk bekerja dan memeperoleh upah yang layak, hak untuk
beristirahat dan berkreasi, hak untuk mendapat liburan periodik dengan
(tetap) mendapat upah, hak untuk menikmati standar hidup yang cukup,
termasuk perumahan dan pelayanan medis, hak untuk memperoleh jaminan
sosial, hak untuk memperoleh pendidikan, dan hak untuk berperan serta
dalam kegiatan kebudayaan.
- Dan hak kolektif mencakup hak semua bangsa
untuk menentukan nasibnya sendiri, hak semua ras dan suku bangsa untuk
bebas dari segala bentuk diskrimainasi, hak masyarakat untuk bebas dari
neo-kolonialisme (pasal 28-30).
Hak-hak asasi manusia di atas, walaupun
merupakan dekalarasi PBB dimana seluruh bangsa dari pelbagai penjuru dunia
terlibat, namun harus diakui berasal dari buah pemikiran dan anak peradaban
barat.
Pengaturan HAM di Indonesia dapat dilihat dari
berbagai peraturan perundang-undangan, khususnya dalam pembukaan dan batang
tubuh Undang-undang Dasar 1945 serta peraturan perundangan lain diluar UUD
1945, misalnya HAM yang berhubungan dengan proses peradilan dalam UU No. 14
Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan UU No. 8
Tahun 1981 tentang KUHAP dan sebagainya. Sedangkan konsepsi HAM bangsa Indonesia dapat
dilihat dalam ketetapan MPR No. II/MPR/1998 tentang Garis-garis Besar Haluan
Negara (GBHN) dan tercantum dalam Bidang Pembangunan Hukum yang menyatakan
bahwa :
"HAM sebagai anugrah Tuhan Yang Maha Esa
adalah hak-hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia dan Meliputi
: hak untuk hidup layak, hak memeluk agama dan beribadat menurut agama
masing-masing, hak untuk berkeluarga dan memperoleh keturunan melalui
perkawinan yang sah, hak untuk mengembangkan diri termasuk memperoleh
pendidikan, hak untuk berusaha, hak milik perseorangan, hak memperoleh
kepastian hukum dan persamaan kedudukan dalam hukum, keadilan dan rasa aman,
hak mengeluarkan pendapat, berserikat dan berkumpul."
Dari latar historis beberapa perumusan dan
dekalarasi HAM (yaitu: perlindungan terhadap kebebasn individu di depan
kekuasan raja, kaum feodal atau negara yang domina atau tersentaralisasi), dan
kesadaran ontologis tentang
struktur deklarasi PBB, serta kesadaran historis tentang peradaban yang
melahirkannya, dapatlah diidentifikasi karektaristik utama HAM. Perspektif Barat
dalam melihat HAM dapat disebut bersifat antrhoposentris, dengan
pengertian bahwa manusia dipandang sebagai ukuran bagi segala sesuatu karena ia
adalah pusat atau ttitik tolak dari semua pemikiran dan perbuatan. Produk dari
perspektif antrhoposentris ini tidak lain adalah individu yang otonom.
Islam dan Hak Asasi Manusia
Cara
pandang Islam terhadap HAM tidak terelepas dari cara pandangnya terhadap status
dan fungsi manusia. Manusia adalah makhluk Allah yang terhormat (Q.S.
Al-Israa’/17 :70), (Q.S. Al-Hijr/15 :28-29) dan fungsional (Q.S. Al-An’aam/6
:165) serta (Q.S. Al-Ahzab/33 :72). Dari eksistensi ideal, manusia ditarik
kepada kehidupan yang ideal, manusia ditarik pada kehidupan yang riil (realitas
empirik) agar ia dapat terpuji sebagai makhluk yang fungsional. Dalam kaitan
ini, ia disebut khalifah, dalam pengertian mandataris, yang diberi kuasa, dan
bukan sebagai penguasa. Dalam satus terhormat dan fungsi mandataris ini,
manusia hanya mempunyai kewajiban kepada Allah (karena itu, Allah semata yang
mempunyai hak-hak) dengan cara mematuhi hukum-hukumnya. Semua kewajiban itu
merupakan amanah yang diemban (Q.S. Al-Ahzab/33 :72), sebagai realisasi
perjanjiannya dengan Allah pada awal mula penciptaannya (Q.S. At-Taubah/9
:111).
Walaupun manusia mempunyai kewajiban-kewajiban
kepada penciptanya, namun kewajiban-kewajiban ini pada gilirannya menimbulkan
segala hak yang berkaitan dengan hubungan antar sesama manusia. Kewajiban
bertauhid (mengesakan Allah), misalnya, bila dilaksanakan dengan benar, akan
menimbulkan kesadaran akan hak-hak yang berkaitan dengan hubungan antar sesama
manusia, seperti hak perasamaan, hak kebebasan dan memperoleh keadilan. Seorang
manusia mengakui hak-hak manusia lain karena hal itu merupakan kewajiban yang
dibebankan kepadanya dalam rangka mematuhi Allah. Karena itu, Islam memandang
hak asasi manusia dengan cara pandang yang berbeda dari Barat, tidak bersifat
anthroposentris, tetapi bersifat theosentris (sadar kepada Allah sebagai pusat
kehidupan).[4]
Penghargaan kepada hak asasi manusi, dengan demikian, merupakan bentuk kualitas
kesadaran keagamaan yaitu kesadaran kepada Allah sebagai pusat kehidupan.
Dibawah ini kami mencoba memaparkan konsep dasar HAM dalam Islam yang bersumber dari al-Qur'an dan al-Hadis .
Pandangan Al-Qur'an.
HAM yang dijamin oleh Islam seperti yang diatur
dalam al-Qur'an sebagai sumber dan dasar ajaran Islam bagi manusia.[5] HAM dasar terdapat dalam al-Quran terdiri
dari :
a) Hak atas keselamatan jiwa. Dalam Islam jiwa
seseorang sangat dihormati dan keberadaannya harus dipelihara (hifd al-nafs), sebagaiman firman Allah
dalam al-Qur'an Surat
(Q.S Al-Isra'/15 :33 )
yaitu membunuh orang hanya dibolehkan karena ada alasan yang benar, misalnya qishas
bagi orang yang terbukti membunuh orang lain dengan sengaja.
b) Pengamanan hak milik pribadi (Q.S.
Al-Baqarah/2 :181).
c) Keamanan dan kesucian kehidupan pribadi (Q.S.
An-nur/24 :27)
d) Hak untuk memperoleh keadilan hukum (Q.S. :)
e) Hak untuk menolak kezhaliman (Q.S.
An-Nisa'/4 :148)
f) Hak untuk melakukan al-amru bi al-ma'ruf wa
al-nahyu 'an al-munkar, yang didalamnya juga mencakup hak-hak kebebasan
memberikan kritik (Q.S. Al-A'raf/7 :165
dan Q.S. Al-Baqarah/2 :110).
g) Kebebasan berkumpul demi tujuan kebaikan dan
kebenaran. Kebebasan berkumpul ini berkaitan dengan hak asasi pada huruf (f), yakni tujuan untuk menegakkan yang
ma'ruf dan mencegah yang munkar.
h) Hak keamanan dari penindasan keagamaan. Banyak
sekali ayat al-Qur'an yang melarang pemaksaan, saling bertikai karena perbedaan
agama, salah satunya adalah (Q.S. Ali Imran/3 :100 ).
i)
Hak untuk
tidak menerima tindakan apapun tanpa ada kejahatan yang dilakukannya. Dengan
kata lain seorang harus dianggap tidak bersalah, jika ia belum terbukti
melakukan kejahatan.
j)
Hak
memperoleh perlakuan yang sama dari negara dan tidak melebihkan seseorang atas
orang lain (Q.S. Al-Qashash/28 :4).[6]
Implementasi HAM dalam Islam.
Ajaran Islam tentang HAM di atas telah
diaktualisasikan dalam kehidupan bermasayarakat pada zaman Nabi Muhammad saw
dan Khulafaur Rasyidin (empat khalifah pertama) seperti tersirat dalam beberapa
Sunnah dan tradisi sahabat berikut ini.
1.
Petuah
Rasulullah SAW kepada seorang wanita yang datang berkonsultasi kepadanya atas
anjuran Usamah :
"Dari Urwah, dari 'Aisyah yang mengatakan
bahwa Usamah suatu saat menganjurkan kepada seorang wanita untuk datang kepada
Nabi. Nabi berkata, 'berapa bangsa sebelummu telah dihancurkan, karena mereka
menjatuhkan hukuman kepada masyarakat kelas bawah, tetapi tidak menghukum
anggota masyarakat kelas atas (pada waktu mereka melakukan tindak kejahatan).
Demi Tuhan yang ditangan-Nya terletak kehidupanku, andaikata anak perempuanku
Fatimah melakukannya, tentu saya potong tangannya'."[7]
2.
Persetujuan
Rasulullah SAW kepada para sahabatnya:
"Dalam peristiwa perang badar, Nabi
memilih suatu tempat khusus yang dianggap pantas untuk menyerang musuh. Salah
seorang sahabatnya, Hubab bin Mandhar, bertanya kepada Nabi, apakah yang
menyebabkannya memilih tempat khusus itu karena berasal dari wahyu Tuhan. Nabi
menjawab tidak. Dengan ucapan itu Hubab bin
Mandhar lantas mengajukan suatu tempat alternatif untuk memberikan serangan trza Q`]12hadap musuh, karena menurut
anggapannya, tempat itu secara strategis lebih baik tempatnya. Nabi
menyetujuinya".[8]
3.
Perjanjian
Rasulullah dengan golongan Kristen Najran :
"Dari Muhammad Sang Nabi kepada Abu
Harist, uskup Najran, pendeta-pendeta, rahib-rahib, orang-orang yang hidup di
gereja-gereja mereka dan budak-budak mereka; semunya akan berada dibawah
lindungan Allah dan nabinya; tidak ada uskup yang diberhentikan dari keuskupannya,
tidak ada rahib yang yang akan diberhentikan dari biaranya dan tidak ada
pendeta yang akan diberhentikan dari posnya, dan tidak akan terjadi perubahan
dalam hak-hak yang mereka telah nikmati sejak lama.[9]
4.
Pesan
Khalifah Abu Bakar ketika mengirim ekspedisi pertama ke negri Syam:
"Hendaklah kamu bersikap adil. Jangan patahkan keyakinan yang telah kamu
ikrarkan. Jangan memenggal
seseorangpun. Jangan bunuh anak-anak, laki-laki dan perempuan. atau membakar
pohon-pohon kurma, dan jangan tebang pohon-pohon yang menghasilkan buah-buahan.
Jangan bunuh domba-domba, ternak-ternak atau unta-unta, kecuali untuk sekedar
dimakan. Mungkin sekali kamu akan bertemu dengan orang-orang yang telah
mengundurkan diri ke dalam biara-biara, maka biarkan mereka dan kegiatan mereka
dalam keadaan yang damai."[10]
5.
Prinsip-prinsip
hak asasi manusia yang termaktub di dalam Piagam Nabi (Kitab an-Nabi)
yang oleh beberapa ahli hukum tata Negara dianggap sebagai konstitusi tertulis
pertama di dunia yakni dokumen historis tentang aturan-aturan dasar
penyelenggraan Madinah sebagai sebuah komunitas dibawah kepemimpinan Nabi
Muhammad saw. Ketika hijrah ke Yatsrib yang kemudian menjadi Madinah, penduduk kota itu tidaklah
homogen. Paling tidak terdapat kelompok kaum muslimin, yang terdiri dari dua
bagian, yakni Muhajirin dan Anshar, kelompok keagamaan Yahudi dan kelompok
masyarakat Arab yang menganut Paganisme.
Setibanya di Yatsrib, Nabi segera mengadakan fakta
kesepakatan bersama dengan kelompok-kelompok masyarakat yang hetrogen itu untuk
menyatukan mereka ke dalam komunitas baru, yang dinamakan dengan Madinah.
Sekarang setelah beberapa serjana melakukan studi yang mendalam terhadap teks
ini, mereka dengan mudah mensistematikan piagam ini menjadi 10 Bab dan 47
Pasal, yang di dalamnya memuat rumusan-rumusan penting tentang hak asasi
manusia.[11]
Penegasan yang terpenting yang termaktub dalam
Piagam Madinah yaitu pengakuan terhadap pluralitas masyarakat, yang dalam
hak-hak dan kewajiban adalah sama tanpa membedakan asal-usul agama. Tiap-tiap kelompok
masyarakat memiliki otonomi ke dalam, tetapi tidak mempunyai kewenangan untuk
melakukan hubungan ke luar yang harus dilakukan atas nama Madinah di bawah
kepemimpinan Rasulullah saw sebagai kesatuan komunitas. Nabi Muhammad diangkat
sebagai pemimpin komunitas ini, tetapi beliau tidaklah menjadi seorang autokrat
karena hukum Tuhan diatas segala-galanya dan setiap pengambilan keputusan
dilakukan dengan prinsip musyawarah. Karena masyarakatnya sangat majemuk, maka
dalam komunitas Madinah diberlakukan berbagai subsistem hukum. Dalam arti kaum
muslimin tunduk kepada hukum Islam, sementara kaum Yahudi tunduk kepada hukum
Taurat dan penganut paganisme tunduk kepada hukum adat mereka.
Kebebasan menjalankan ibadah keagamaan dengan
sendirinya dijamin dalam teks Piagam Madinah. Hal ini disebabkan karena pada
prinsipnya Islam menegaskan bahwa keyakinan keagamaan tidak dapat dipaksakan
terhadap seseorang, meskipun dakwah wajib dijalankan. Hak milik, hak kebebasan
pribadi, hak untuk mendapat jaminan keselamatan pribadi dan kelompok semuanya
dijamin dalam piagam, demikian pula hak untuk ikut serta dalam pembelaan
komunitas, jika diserang oleh kelompok diluarnya. Dengan demikian, partisipasi
dalam penyelenggaraaan kehidupan ekonomi, sosial dan politik terbuka bagi semua
orang.
Meskipun dokumen-dokumen yang diwariskan oleh
Islam tetap ada dan tetap terpelihara oleh jutaan kaum di seluruh dunia, namun
masih saja terdapat anggapan bahwa hak asasi manusia, dianggap seolah-olah
sesuatu yang asing dari khazanah peradaban kaum Muslimin. Anggapan seperti itu
patut kita sesali, mengingat rujukan akademis dan intelektual di banyak
masyarakat Timur hingga sekarang tetap mengacu ke dunia Barat. Sehingga tidak
mengherankan jika timbul kritik terhadap kaum intelektual di Asia
dan Afrika, dimana mereka dituduh sebgai "orang Barat di negeri
Timur". Namun perkembangan yang terjadi dalam masyarkat Islam sekarang ini
telah memberikan harapan baru untuk mewarisi tradisi sejarah peradaban umat
manusia secara jujur dan berimbang. Penilain seperti itu tentu bukan dimaksud
sekedar memenuhi dahaga intelektual kaum cendikiawan, karena langkah
selanjutnya adalah bagaimana menyerap dan mengimplementasikan nilai-nilai
ajaran Islam itu kedalam kehidupan umat manusia dalam mengadapi tantangan
zaman.
Seiring berjalannya waktu berbagai dinamika dan
dialektika mempengaruhi konsep asasi dari hak asasi manusia, terutama dalam
penilaian penerapan hak asasi manusia pada suatu bangsa. Penilaian terhadap
pelaksanaan hak asasi manusia di suatu negara, hendaklah dilakukan secara jujur
dan proporsional serta dilandasi oleh iktikad yang baik, dengan kesadaran bahwa
masalah ini adalah perjuangan kemanusiaan yang sangat penting. Tetapi, adalah
tidak jujur dan tidak adil, jika menjadikan isu hak asasi manusia sebagai alat
untuk melakukan penekanaan politik terhadap negara-negara berkembang dan negara
baru, khususnya di Asia dan Afrika, untuk kepentingan diri sendiri, apalagi
dilakukan dengan standar ganda. Lebih buruk lagi jika isu hak asasi manusia
dijadikan sebagai “offensif propoganda” untuk
menyerang dan memojokkan satu bangsa sambil menyembunyikan dan menutupi
kesalahan yang mereka lakukan agar mereka tidak diserang lebih dahulu.[12]
Kebanyakan kaum Muslimin merasakan akibat
penerapan standar ganda dibidang hak asasi manusia, sejak terjadinya peristiwa
yang disebut sebagai serangan kaum teroris terhadap gedung World Trade
Center di New
York pada tanggal 11 September 2001 . Kita dapat memahami
penegasan berbagai pihak bahwa perang melawan teroris bukanlah ditujukan kepada
kaum Muslimin, karena terorisme dapat dilakukan oleh pemeluk agama apa saja di
muka bumi ini. Namun akses negatif terhadap perang terhadap terorisme yang
dirancang Amerika Serikat itu kini lebih banyak dirasakan oleh kaum Muslimin
dibandingkan dengan pemeluk agama lain. Akibatnya, tidak jarang hak asasi manusia mereka abaikan, bahkan
dilanggar secara sewenang-wenang. Berbagai bentuk sikap prejudis, rasialis, xenophobia dan Islamophobia kini seakan-akan muncul lagi dalam percaturan politik
antar bangsa. Fenomena ini sangat ironis terjadi di tengah abad yang justru di
awal kelahirannya memberikan banyak harapan terhadap penghormatan dan penegakan
hak asasi manusia. Dominasi pemberitaan media massa sering pula dimanfaatkan untuk
membangun persepsi buruk terhadap umat Islam yang tidak berdaya melakukan
bantahan dan klarisifikasi atas berita-berita seperti itu.
Bagi kita Muslimin Indonesia ,
adalah tugas dan kewajiban kita untuk menunjukkan kepada dunia, bahwa Islam
adalah cinta damai dan agama yang menghormati hak asasi manusia, betapapun kini
kita menghadapi kenyataan-kenyataan pahit yang menyesakkan dada. Kita
berkewajiban merealisasikan apa yang ditegaskan oleh al-Qur’an bahwa
"kalian adalah sebaik-baik umat (khairah
ummah) yang kami tonjolkan kepada semua umat manusia karena kalian selalu
mengajak manusia kerah kebaikan dan mencegah kemungkaran dan kalian beriman
kepada Allah’ (Q.S Ali Imran : 110). Perjuangan kerah itu memang tidak mudah,
panjang dan berliku-liku. Namun kaum Muslimin tetap tidak boleh putus asa
menghadapi segala kenyataan. Di awal tahun baru ini, masih ada secerca harapan
untuk membangun hari depan yang lebih baik.
Penutup.
Hak dapat dimaknai sebagai suatu nilai yang diinginkan
seseorang untuk melindungi dirinya, agar ia dapat ia memelihara dan
meningkatkan kehidupannya dan mengembangkan kepribadiannya. Ketika diberi
imbuhan asasi, maka ia sedemikian penting, mendasar, diakui oleh semua
peradaban, dan mutlak pemenuhannya.
Setelah melalui proses yang panjang, kesadaran
akan hak asasi manusia mengglobal sejak 10 Desember 1948 dengan ditetapkannya
oleh PBB Deklarasi tentang Hak Asasi Manusia. Deklarasi PBB ini, juga
deklarasi-deklarasi sebelumnya, dirancang untuk melindungi kebebasan individu
di depan kekuasaan raja, kaum feodal, atau negara yang cenderung dominan dan
terdesentralisasi. Karena itu, deklarasi-deklarasi tersebut, yang nota bene
anak peradaban Barat, melihat hak-hak asasi manusia dalam perspektif
anthroposentris.
Hak-hak asasi manusia memperoleh landasan dalam
Islam melalui ajarannya yang paling utama, yaitu Tauhid (mengesakan Tuhan).
Karena itu, hak-hak asasi manusia dalam Islam lebih dipandang dalam perspektif
theosentris. Walau demikian, ajaran tauhid tersebut berimplikasi pada keharusan
prinsip persamaan, persaudaraan dan keadilan antar sesama manusia, dan prinsip
kebebasan manusia. Prinsip tersebut telah menjadi landasan bagi pembentukan
peradaban masyarakat Muslim awal, sehingga menempatkan dunia Islam beberapa
abad di depan barat. Wallu a'lam bi al-shawab.
Catatan;
[1] Yusril Izza Mahendra, “Konsepsi Islam Tentang HAM dan Persaudaraan”, Jurnal Dirosah
Islamiyah, 1, 2003.hal. 134-137
[5] Syekh Syukat Hussain.1996. Hak asasi Mausia
Dalam Islam. Terjemahan Abdul Rahim C.N , Jakarta : Insani Press. Hal. 59
[6] Huzni Thoyyar. "Polemik hak Asasi
manusi, Bagaimana Konsepsi Islam?", Suara Hidayatullah, X, Februari,
1998. hal. 72
[8] Altaf Gauhar, ed. 1978. The Challenge of
Islam. London
: Islamic Council of Europe dalam Fatah Santosos, Islam dan Hak Asasi
Manusia. Akademika, 03, 1993.19.
Daftar Pustaka
al-Bukhari.1978. Shahih al-Bukhari, Juz 15. Bairut: Dar Fikri
Fatah Santoso, Islam dan Hak
Asasi Manusia. Akademika
IX ( 03, 1993)
Gauhar, Altafed. 1978. The Challenge of Islam. London : Islamic Council
of Europe dalam Fatah Santosos, Islam dan Hak Asasi Manusia. Akademika
IX ( 03, 1993)
Sumantri,
M Sri Refleksi HAM di Indonesia
Mahendra,Yusril Izza.2003 .“Konsepsi Islam Tentang HAM dan Persaudaraan”, Jurnal Dirosah
Islamiyah, Volume 1 (Nomor 1, 2003)
M.Timur.1987. Sebuah Dialog tentang Islam dan Hak Asasi
Manusia.
Hussain, Syekh Syukat. 1996. Hak asasi Mausia Dalam
Islam. Jakarta: Gema Insani Press.
Thoyyar, Huzni. 1998. "Polemik
hak Asasi manusi, Bagaimana Konsepsi Islam?", Suara Hidayatullah, X,
(Februari, 1998)
0 komentar:
Posting Komentar